"Just because you can't see it, doesn't mean it isn't there" - Laut bukan tempat sampah!

10/6/10

Cerita Dari Dieng I - (Tour De Candi)

Day 1, Senin (13/9/2010)

Sore itu (13/9) hujan deras mengguyur terminal bus. Agak bergegas aku melangkah dan menaiki bus ekonomi yang akan mengantarku ke Jawa Tengah. Huffttt... kuhempaskan tubuhku di kursi dekat jendela.

Seorang pria duduk di sebelahku, sebut saja namanya Mas Tejo. Ia yang akan menjadi teman seperjalananku. Selang beberapa menit, aku mendengar beberapa penumpang yang duduk di belakangku terlibat percakapan seru seputar harga tiket bus ekonomi yang kami tumpangi.

"Saya tadi kaget lho mas, harga tiketnya mahal sekali, biasane ndak segini," kata seorang ibu sambil menunjukkan tiket bus (di situ tertera Rp. 130 rebu *beuh..*).
Aku hanya diam mengawasi, "Memangnya berapa sih harga tiket biasanya," tanyaku dalam hati.
"Biasanekan  cuma 65 ribu, lha ini kok naeknya sampe dua kali lipet toh," gerutunya seperti tahu apa yang ada dipikiranku.
"Mungkin karena masih suasana lebaran kali bu, makanya tiketnya jadi naik," ujar anak muda yang duduk di sebelah ibu tadi.
"Iya sih, tapi mosok naiknya mahal banget toh... kalo kaya gini saya kan jadi ndak punya uang untuk ngasih ke sodara... " tuturnya kesal.

Aku memilih untuk diam saja, tidak ingin ikut berargumen. Oh ya... seperti yang sudah aku bilang sebelumnya  (baca: Gara-gara Kereta Api Bogowonto), kali ini aku melakukan solo backpacker... alias travelling alone alias backpacker sendirian... Beberapa orang teman menganggapku terlalu berani dan gila (backpacker sendirian ke tempat yang sama sekali belum pernah kudatangi dan hanya bermodalkan informasi dari internet).
Hmm... sebenarnya ini bukan kali pertama aku pergi ke luar kota sendirian. Pekerjaanku yang sebelumnya kerap menuntutku untuk pergi ke kota-kota di dalam maupun luar pulau Jawa sendirian.

Sekitar pkl. 17.40 WIB, bus meninggalkan terminal, ngaret dari jam keberangkatan seharusnya (pkl. 16.00 WIB). Bus ekonomi yang aku naiki cukup nyaman (tidak ada penumpang yang berdiri), walaupun ada bagian bus yang bocor dan meneteskan air hujan... :p Selama perjalanan, terhitung sebanyak dua kali bus berhenti selama 1/2 jam untuk istirahat dan makan.

Day 2, Selasa (14/9/2010)

Sekitar pkl. 06.00 WIB, bus memasuki daerah Wonosobo, angin dingin berhembus masuk ke dalam mobil dari kaca jendela, bbrrrr... "Baru sampe sini aja udah terasa dinginnya, apalagi kalo udah sampe Dieng ya?" batinku.

"Mas, kalo mau ke Dieng, turunnya dimana ya?" tanyaku pada Mas Tejo (pria yang duduk di sebelahku).
"Mbaknya mau ke Dieng toh?  Nanti bareng aja sama saya turunnya," tambah Mas Tejo seraya tersenyum tulus.
Lega... aku langsung nyengir dan berterima kasih atas tawarannya.

Tak berapa lama kami tiba kota Wonosobo. Aku pun turun mengikuti langkah Mas Tejo. Usai mengucapkan terima kasih, kami berpisah. Aku berjalan ke arah yang ditunjukkan Mas Tejo tadi.

Kosong... jalanan terlihat sangat lengang (maklum masih pagi). Sesaat aku kebingungan, tapi kakiku tetap melangkah. Di tikungan pertama, aku melihat sebuah pasar. Di situ banyak angdes (angkutan desa) berwarna kuning berjejer. Tanpa ragu aku melangkah masuk ke arah pasar dan bertanya pada seorang tk.parkir dimana aku bisa menunggu bus tujuan Dieng. Ia pun memberikan petunjuk arah.

Setelah sekitar 15 menit berjalan kaki, sampai juga aku di lokasi yang ditunjuk Tk. ojek tadi. Seorang tk. ojek yang lain menyambutku dengan ramah. "Ojek mbak?"
"Nggak Pak," jawabku. "Maaf  Pak, kalo mau ke Dieng, naik mobilnya di sebelah mana ya?" tukasku cepat.
"Oh mau ke Dieng ya?... nunggu di sini Mbak, nanti saya kasih tau kalo bisnya datang," jawab Bapak tadi.
Tak berapa lama, bis menuju Dieng  tiba. Si Bpk. tk. ojek menghentikan bis berwarna ungu sebesar metro mini dan berteriak kepadaku, "Mbak... ini bis ke Dieng."
Aku langsung bergegas menuju bis seraya berterima kasih pada Bpk. tk. ojek.

Dengan sigap, aku langsung duduk di depan (sebelah supir). Saat itu hanya ada aku dan seorang bapak-bapak yang menumpang bis. Dari pada bengong, aku mencoba bercakap-cakap dengan supir bis. Di tengah perjalanan, baru kusadari bahwa bis yang kunaiki ini 'polos' (di kaca depan maupun belakang bis tidak ada tulisan "jurusan Dieng").

Sungguh... aku tidak salah memilih kursi di depan, karena selama perjalanan menuju Dieng aku disuguhi pemandangan yang luar biasa indah. Langit yang cerah, hamparan bukit dan gunung dengan ladang kentang bertebaran di sepanjang jalan. Belum lagi saat bis melewati gugusan Gn. Kembar, Gn. Sindoro dan Gn. Sumbing... very magnificent...^_^ sukar kulukiskan dengan kata-kata... (sayang aku nggak bisa turun untuk ngambil foto).

Kurang lebih satu jam perjalanan, bis yang aku tumpangi tiba di Dieng. Setelah beberapa kali keluar masuk homestay, pilihanku jatuh pada sebuah penginapan yang lokasinya tak jauh dari jalan raya. Fasilitas yang aku dapat adalah kamar mandi di dalam, air panas (shower) dan televisi.

Kemudian aku pun membersihkan badan (mandi). Saat sedang mandi, aku sempat kaget dengan banyaknya asap yang tiba-tiba memenuhi ruang kamar mandi. Agak tergesa aku membuka pintu kamar mandi dan memeriksa gas aliran air panas ke shower. "Tidak ada yang salah," batinku bingung.

Aku pun kembali melanjutkan mandi dan saat itulah aku baru menyadari bahwa asap yang memenuhi ruangan kamar mandi ternyata berasal dari tubuhku sendiri. Asap tersebut keluar lewat pori-poriku akibat air panas (hangat) yang kubasuhkan ke badanku yang beku (dingin), masyaAllah... bikin kaget  ajahhh...:D

Kelar mandi aku melangkah ke luar penginapan, mencari sarapan. Mataku tertuju pada sebuah warung penjual gorengan di pinggir jalan. Dari percakapan kami aku tahu bahwa Bpk. pemilik warung gorengan tersebut merupakan kakak dari bapak pemilik penginapan yang aku inapi :p.

Aku memilih untuk duduk di depan warung sambil makan tahu goreng yang masih ngepulll... Mataku sibuk mengawasi orang-orang dan bis yang lalu lalang. "Hmmm... alhamdulillah cuaca hari ini cerah," batinku. Usai menghabiskan 4 buah gorengan, aku bergerak ke warung sebelah untuk menenggak segelas kopi cream, mantafff...

Di seberang warung kopi berdiri sebuah pasar dengan beraneka ragam barang dagangan. Dari Ibu pemilik warung kopi aku tahu bahwa pasar yang ada di depanku merupakan pasar 'kaget' yang hanya muncul tiap dua tahun sekali. "Pasar itu sebenarnya terminal bis Mbak, tapi karena saat ini masih suasana lebaran, terminal bis itu berubah fungsi jadi pasar. Siang nanti pasti semakin banyak orang yang berdatangan," tutur Ibu tadi. Aku manggut-manggut sambil melirik ke jam tanganku, sudah pkl. 09.00 WIB. Setelah kopi kuhabiskan, aku kembali ke penginapan.

Kota Dieng di pagi hari

Bus jurusan Dieng

Di penginapan, aku diperkenalkan dengan seorang guide, namanya Pak Toha. Pak Toha ini yang biasanya membawa tamu-tamu penginapan untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di Dieng.

Jika kamu ingin bekpekeran ke Dieng, bisa membeli buku Journey To Amazing Sites , Pengarang: Ifa Abdoel, Penerbit: Elex Media Komputindo - Gramedia group. dalam buku tersebut terurai lengkap panduan tips backpacking ke Dieng, sarana akomodasi murmer, dan transportasi. Tak hanya itu, buku tersebut juga memuat perjalanan wisata ke tempat-tempat eksotik lainnya di Indonesia ala bekpeker.

Kompleks Candi Arjuna

Tanpa babibu lagi... Aku langsung mengajak Pak Toha untuk berkeliling. Tujuanku yang pertama adalah Kompleks Candi Arjuna. Untuk masuk ke Kompleks Candi Arjuna sebenarnya ada retribusi yang harus dibayar. Tetapi berhubung Pak Toha itu udah kesohor sebagai guide, aku bisa masuk kompleks candi dengan gretong, hehehe... ^_^

Di depan kompleks candi, ada onggokan batu-batu candi dan pendopo, tempat ini namanya Darmasala (yang artinya: tempat beristirahat para peziarah). Ada Darmasala kiri dan Darmasala kanan, konon (kata Pak Toha-red) tempat beristirahat perempuan dan laki-laki pada jaman dulu itu dipisah. Tapi sampai saat ini belum diketahui yang di sebelah mana tempat istirahat perempuan dan yang di sebelah mana untuk laki-laki.

Darmasala Kanan.

Darmasala Kiri




Setelah melewati Darmasala, kami bergerak ke arah Kompleks Candi Arjuna. Kompleks Candi Arjuna terdiri dari 5 candi yakni Candi Arjuna, Semar, Srikandi, Punta Dewa dan Candi Sembadra. Candi-candi tersebut semuanya menghadap ke Candi Semar (karena dalam cerita pewayangan, Semar merupakan penasehat dari Pandawa Lima).


Kompleks Candi Arjuna

Narsis di depan Candi Semar

Kawah Sileri

Setelah mengambil gambar candi-candi tersebut, sekalian narsis... ^_^, kami bergerak dengan motor menuju Kawah Sileri. Kawah Sileri merupakan sebuah kawah belerang yang masih aktif dan terletak di tengah-tengah kebun kentang. Tidak banyak yang bisa kuceritakan di kawah ini, selain berusaha bernafas dengan normal di tengah-tengah bau belerang yang bikin eneg... hufffttt

Kawah Sileri
 
Walaupun eneg, narsis harus teuteup berjalan (persis di depan Kawah Sileri)
Sumur Jalatunda

Dari Kawah Sileri kami bergerak menuju Sumur Jalatunda. Untuk menuju Sumur Jalatunda, kami harus meniti anak tangga. Sebelum naik, Pak Toha memintaku untuk menghitung berapa jumlah anak tangga yang kulalui. Setelah kuhitung, ternyata ada 88 anak tangga.

Nih dia anak tangganya

Menurut Pak Toha, 88 anak tangga tersebut melambangkan 88 tahun waktu yang dibutuhkan seorang pangeran untuk menyadari kesalahannya. Konon, ada seorang pangeran yang ingin menyunting seorang putri raja. Pangeran itu gagal menyunting sang putri karena ia melakukan pendekatan dengan cara yang tidak benar (licik). Butuh waktu 88 tahun bagi pangeran tadi untuk mengerti bahwa apa yang dilakukannya merupakan suatu perbuatan yang salah (Jala = jaring, Tunda = tertunda).

Sumur Jalatunda

Setelah aku tiba di anak tangga paling atas, aku baru tahu bahwa sumur yang dimaksud bukanlah sumur dalam artian sebenarnya, melainkan sebuah danau kecil yang berada di sebuah lembah. Di tempat ini ada beberapa orang penjual batu granit. Pak Toha memintaku membeli tiga buah batu seharga Rp. 1 rebu *beuh..* Batu-batu itu harus aku lempar ke tengah-tengah Sumur (telaga), jika aku berhasil melemparnya sampai ke tengah, maka semua permohonanku akan terkabul... dan... satupun batu-batu itu tidak ada yang berhasil kulempar sampai ke tengah... ^_^

Telaga Mardada

Berikutnya, kami menuju Telaga Mardada. Saat kami tiba, telaga diselimuti dengan kabut tebal... Udara yang sudah dingin semakin dingin (mungkin sekitar 16 'C brrrrr....).

Sambil menunggu kabut menghilang, Pak Toha bercerita tentang hal unik yang ada di Dieng. Salah satunya adalah adanya anak-anak (7-8 thn) berambut gembel (gimbal). Masyarakat Dieng menyakini bahwa anak-anak berambut gembel ini harus dicukur rambutnya melalui prosesi ritual yang dipimpin oleh Tetua setempat. Jika tanpa melalui prosesi ritual maka rambut gembel tersebut akan tumbuh kembali dan dapat mengakibatkan sang anak sakit-sakitan.

Namun demikian, ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum prosesi pencukuran rambut dilakukan, yakni bila anak-anak tersebut yang memintanya sendiri (untuk dicukur), setelah permintaan anak-anak tersebut dipenuhi (misalnya mereka minta dibelikan sepeda, baju atau yang lainnya) dan harus tersedia tumpeng robyong (yang terdiri dari 5 tumpeng). Tumpeng-tumpeng tersebut diyakini sebagai perantara untuk membuang sial dan meminta keselamatan bagi si anak dan keluarganya. Setelah di potong, rambut gembel tersebut dilarungkan di Telaga Warna.

Baru saja aku selesai mencatat cerita Pak Toha soal anak gembel, tiba-tiba Pak Toha berseru, "Mbak... kabutnya udah ilang Mbak." Refleks aku menoleh ke belakang dan melihat pemandangan indah Telaga Mardada. Nih dia fotonya, cekidottt.... ^_^

Telaga Mardada

Narsis di depan Telaga Mardada
Museum Dieng "Kailasa"

Selanjutnya perjalanan kami lanjutkan menuju Museum Dieng "Kailasa". Aku suka dengan interior bagian dalam museum ini, terlihat bersih, terawat, rapih dan minimalis (modern). Di museum ini aku dapat melihat pemutaran film tentang sejarah berdirinya candi-candi di Dieng. Selain itu juga ada ruangan yang khusus menyimpan patung-patung atau pahatan dari candi-candi yang ada di Dieng.

Museum Dieng Kailasa

Mejeng dulu ah..

Di museum ini juga ada lukisan dan benda-benda yang menceritakan sejarah berdirinya candi-candi, cerita tentang adat, budaya dan kehidupan masyarakat asli Dieng. Dari museum ini aku tahu bahwa masyarakat Dieng menjadikan dapur sebagai ruang keluarga mereka. Di tempat itu  mereka bercakap-cakap dan berkumpul. Hal itu dikarenakan dapur merupakan tempat yang hangat yang bisa mengikis dinginnya udara Dieng (hmm pantes aja... Dieng emang bener-bener dingin banget bro... sumpehhh ). Dari museum ini juga aku tahu bahwa Sarung dan topi kupluk merupakan ciri khas pakaian laki-laki Dieng.

Beberapa bentuk topeng dipajang di museum. Tari Topeng merupakan bagian dari budaya masyarakat Dieng

Sekilas Tentang Dieng

Setelah mengunjungi Museum Dieng "Kailasa" kami kembali ke penginapan untuk solat dan makan siang. O ya, sebelumnya aku mau cerita sedikit soal Dieng. Dieng merupakan dataran tinggi di Jawa Tengah, yang masuk dalam wilayah Kab. Banjarnegara dan Kab. Wonosobo. Dieng adalah wilayah vulkanik aktif dan dapat dikatakan merupakan gunung api raksasa. Itulah sebabnya di sepanjang jalan aku sering menemui pipa-pipa besar milik Pertamina yang menyedot uap panas dari dalam gunung untuk dijadikan energi listrik PLTU. Menurut Pak Toha, PLTU ini turut men-supply kebutuhan listrik di P. Jawa dan Bali. 

Salah satu PLTU Pertamina

Suhu Dieng sangat dingin (antara 15 - 20 'C di siang hari) dan 10'C di malam hari. Malah, pada musim kemarau, suhu bisa mencapai 0'C  di pagi hari dan memunculkan embun beku yang oleh masyarakat Dieng disebut bun upas (embun racun) yang menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian mereka. Dieng juga terkenal sebagai daerah penghasil kentang terbesar (nomor satu di Indonesia).

Petani yang sedang memanen kentang
Kembali ke penginapan. Aku pergi ke luar untuk makan siang. Aku berjalan memasuki area pasar 'kaget', di tempat itu aku menemukan rumah makan Warung Yati. Warung Yati merupakan rumah makan yang cukup besar (paling besar malah). Makan di sini modelnya prasmanan alias ngambil sendiri nasi dan lauk pauknya.

Usai makan siang, aku kembali ke penginapan, beristirahat sebentar, kemudian memanggil Pak Toha untuk memulai kembali perjalanan kami. Rute berikutnya adalah Kawah Sikidang.

Kawah Sikidang

Naik motor kami menuju Kawah Sikidang. Perjalanan menuju kawah tersebut diiringi gerimis, brrrr...  Setelah 10 menit berkendara, kami terjebak macet. Ternyata siang itu banyak wisatawan yang hendak mengunjungi Kawah Sikidang , tak pelak antrian kendaraan roda empat mewarnai jalan menuju kawah. Dengan gesit, Pak Toha mengendarai motornya sehingga kami terlepas dari kemacetan.
Untuk masuk ke kawah ini, juga ada retribusi karcis masuk. Tapi berhubung Pak Toha udah kesohor, so... yang ini aku gratis lagi... ^_^.

Kawah Sikidang
Kawah Sikidang merupakan kawah belerang. Di sini terdapat 3 sumber belerang yang masih aktif (namun tidak beracun) dan mengeluarkan asap yang berbau khas, bau kentut... :'(
Amazing... that's all I can say when I see this place. Kawah Sikidang merupakan kawah yang terbesar di Dieng dan berlatar belakang bukit. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, narsis pun di mulai... ^_^.

Narsis always..

Kemudian Pak Toha menantangku untuk naik ke atas salah satu bukit yang terendah, okelah... sapa takut... ;) Perlahan kami naik ke atas bukit dan ternyata pemandangan dari atas... very magnificent...^_^ cekidotttt....


Kawah Sikidang dari atas bukit

Sayang, baru aja narsis di mulai tiba-tiba hujan datang... kami buru-buru turun. Sampai di bawah, hujan semakin deras. Dengan berpayung  jas hujan milik Pak Toha, kami melangkah cepat menuju sebuah gardu/pendopo kecil yang ada di sana. Yang paling penting saat itu adalah mengamankan kamera dan HP dari air hujan.

Hanya15 menit kami berteduh, begitu hujan berganti rintik-rintik, kami bergegas meninggalkan gardu menuju pintu ke luar karena kami ingin melanjutkan perjalanan menuju Candi Bima.

Candi Bima

Candi Bima letaknya satu arah dengan Kawah Sikidang. Jadi, untuk menuju kawah, terlebih dahulu kami melewati Candi Bima. Candi ini termasuk candi yang unik karena ia memiliki kemiripan arsitektur dengan beberapa candi di India. Pada bagian atap terdapat relung dengan relief kepala yang disebut dengan kudu.  Sama seperti candi-candi lainnya, candi ini juga menjadi korban penjarahan... :'(
Mendingan lihat fotonya aja yah... candinya masih cantik kok...^_^


Candi Bima

Dieng Plateau Theater

Usai narsis di Candi Bima, kami bergerak menuju Dieng Plateau Theater. Untuk masuk ke dalam gedung theater, aku harus membayar karcis masuk. Di tempat ini kita bisa menikmati sajian film tentang keindahan alam dan budaya Dataran Tinggi Dieng.

Dieng Plateau Theater


O ya, sebelum ke gedung theater, Pak Toha membawaku ke suatu tempat (letaknya dekat gedung theater). Dari tempat ini aku diperlihatkan pahatan bukit yang batunya dijadikan bahan dasar untuk pembuatan candi, nama batuan tersebut adalah andesit.

Sayang bukitnya tertutup kabut

Di jalanan menuju bukit

Kembali ke gedung theater. Setelah sekitar 30 menit menyaksikan tayangan film, aku baru merasa sangat lelah... rasanya ingin cepat-cepat kembali ke penginapan dan beristirahat... :'(  Aku pun meminta Pak Toha untuk mengantarku kembali ke penginapan, waktu sudah menunjukkan pkl. 17.00 WIB.

Nyempetin foto di jalanan di depan gedung theater

Setelah maghrib, aku ke luar penginapan untuk makan malam. Udara dingin dan lembab langsung menyapaku saat aku berada di luar. Hembusan nafasku pun mengeluarkan asap... Dalam hati aku merutuk... "Parah nih, dingin banget... ntar malem bakal nggak bisa tidur nyenyak nih..." Terbayang hidungku yang bakalan mampet total (bengek.com) plus kedinginan yang amat sangat... hicks :'(

Di luar, aku mencari makanan yang bisa menghangatkan tubuh, pilihanku jatuh pada bakso. Tapi naas... begitu bakso terhidang di hadapanku, kuah baksonya sudah tidak panas lagi, hicks!  Rupanya udara yang amat sangat dingin sudah membuat bakso yang seharusnya berkuah panas itu dalam sekejap menjadi anget-anget kuku... hicks... :'(
Kurang dari lima menit waktu yang aku butuhkan untuk menghabiskan bakso itu, berlomba dengan udara dingin, agar jangan sampai kuah baksonya bener-bener adem! huhuhu... :'(

Sebelum kembali ke penginapan, aku membeli teh manis panas yang kumasukkan dalam botol minumku (kebetulan aku membawa botol minum yang berlapis stainless stell, sehingga panasnya air bisa terjaga/awet), lumayan... teh manis ini jadi obat sementara dari udara dingin yang terus menusuk-nusuk tulangku...*sigh*

Malam itu aku sempat terlelap sekitar 2 jam (pkl. 23.00 WIB aku terbangun). Selanjutnya, aku tidak bisa memejamkan mata. Udara yang terlalu dingin membuatku terjaga sepanjang malam. Sleeping bag yang sengaja kubawa dari Jakarta, ternyata juga tidak mampu menghalangi udara dingin Dieng yang sukses menembus tulang-tulangku... :'(


bersambung.... day 3 (Tour De Candi)

Salam
Ifa Abdoel

No comments:

Post a Comment