"Just because you can't see it, doesn't mean it isn't there" - Laut bukan tempat sampah!

10/6/14

Cara Ke Kampung Naga Ala Backpacker

cerita sebelumnya Kampung Naga, Tradisi Di Antara Modernisasi

Dengan wajah sayu menahan kantuk, aku menjejakkan kaki di atas pelataran Terminal Bus Kampung Rambutan, Jakarta. Waktu masih menunjukkan pkl. 06.10 pagi. Seorang petugas dengan seragam Dinas Perhubungan langsung mencegat langkahku dan memintaku untuk membayar tiket masuk terminal bus antar kota sebesar serebu rupiah *beuhh..*
(Btw, jangan lupa meminta bukti karcis tiket masuk ke dalam terminal antar kota yak, soalnya petugas kadang pura-pura lupa ngasih, uangnya masuk kantong pribadinya deh.. #Modus :p)

Fitri, teman seperjalananku tiba 15 menit kemudian. Hari itu kami hendak mengunjungi Kampung Naga , sebuah kampung yang berlokasi di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, yang masih bertahan dengan tradisi dan adat istiadat leluhurnya di tengah-tengah gempuran arus modernisasi.

Untuk menuju Kampung Naga kami menggunakan bus AC Karunia Bhakti tujuan Jakarta - Garut - Singaparna. Harga tiket bus yang harus dibayar Rp. 50 rebu/orang *beuhh..*
Biasanya bus jurusan tersebut berangkat tiap satu jam sekali. Jadi ga heran kalo kami harus menunggu kurang lebih 1 jam sampai akhirnya bus bergerak keluar dari Terminal Bus Kampung Rambutan.. (-_-!)

Selfie di dalam bus.. ^^

Sekitar pk. 07.30 pagi, bus mulai melintasi jalan raya, masuk gerbang tol dan wuzzz.. melesat meninggalkan Jakarta. Pemandangan khas pedesaan mulai menghias jendela saat bus menggelinding memasuki area luar Jakarta. Hamparan sawah, ladang sayuran, deretan bukit biru yang menjulang tinggi, jurang, hutan-hutan kecil, dan sungai-sungai dengan bebatuan cadasnya, jadi panorama yang membuai mata.

10/4/14

Kampung Naga, Tradisi Di Antara Modernisasi

Untuk sesaat aku tercenung melihat pemandangan tak lazim di hadapanku. Dari jarak setengah kilometer di atas sebuah bukit, aku bisa melihat deretan atap rumah berbentuk jajaran genjang yang tersusun rapih. Atap-atap rumah yang terbuat dari ijuk berwarna hitam tersebut seperti sengaja disusun berundak-undak mengikuti kontur tanah yang tidak rata. Indah sekali..

---

flash back..

Sabtu (13 September 2014)

"Naga.. naga.. naga..," teriak kernet bus pada penumpang.
Aku yang sedang berbicara dengan Fitri langsung siaga mendengar ucapan sang kernet. Tujuan kami sudah dekat. Tanpa babibu lagi, kami bergegas bangkit dari kursi dan melangkah menuju pintu keluar. Bus masih berjalan. Lima menit kemudian, bus berhenti di sebuah tikungan.

Kuamati sebuah gapura tinggi tanpa papan nama. Rasa ragu menyerang, "Apa iya ini Kampung Naga? kok nggak ada papan namanya?" tanyaku dalam hati.
Pada seorang tukang bakso yang mangkal tak jauh dari gapura aku bertanya. "Iya Neng, ini Kampung Naga, masuk aja ke dalem," ujar si bapak tukang bakso sambil menunjuk pada jalan di hadapanku.

Tiba-tiba sebuah suara memanggil namaku. Fitri berdiri di tepi jalan raya sambil menunjuk pada sebuah papan nama bertuliskan "Kampung Naga" yang terletak persis di seberang jalan.
Lha.. papan namanya jauh beut dari pintu masuk, kecil pulak, kaga keliatan euy.. :p

Gerbang masuk Kampung Naga