"Just because you can't see it, doesn't mean it isn't there" - Laut bukan tempat sampah!

2/17/14

Melongok Reruntuhan Ayutthaya

cerita sebelumnya.. Ayutthaya, Kota Purbakala yang Tidak Kuno

Turun dari kapal, langkah ku ayun menuju stasiun kereta. Dua orang turis terlihat sedang mengeluarkan motor dari depan sebuah penginapan yang merangkap rental motor/sepeda. Sambil terus melangkah, aku terus memerhatikan keduanya. Secara mengejutkan, seorang wanita muncul dari dalam penginapan tersebut dan menyapaku ramah.

Sejurus kemudian, aku sudah terlibat percakapan dengan wanita tadi yang ternyata adalah pemilik penginapan sekaligus rental motor/sepeda tadi.
"Saya bisa kasih kamu alternatif keliling kota Ayutthaya dengan biaya murah," ujarnya dalam bahasa Inggris.
"Heh? nyang bener buk?" tanyaku dalam hati.

"Hanya dengan menyewa sepeda seharga 40 bath sehari, kamu bisa keliling beberapa tempat wisata. Setelah itu bermalam di sini dengan tarif 150 bath untuk single room. Total kamu hanya membayar 190 bath saja. Kalo belum puas, besok pagi kamu bisa keliling lagi naik sepeda," ujarnya panjang lebar.

Beuhh... nih die nyang gue cariii.. ^_^
Tanpa banyak pikir, aku langsung setuju dengan usul si mbak-mbak ini. Oya, nama hostel yang aku inapi adalah Saifon Guest House. 

Kamarku sendiri terletak di lantai 2. Hanya ada sebuah meja dan ranjang kecil yang menghias ruangan super minimalis ini. Sebuah jendela berukuran segi empat, cukup lebar untuk menerangi kamar yang di langit-langitnya terpasang baling-baling kipas angin. Kamar mandinya terletak di luar (persis di sebelah kamar), untuk hot shower tersedia di lantai 1.

Setelah solat dan beristirahat sebentar, aku mulai menjelajah "Ancient City" Ayutthaya. Sebagai permulaan, kembali aku harus menyeberang Sungai Chao Praya dengan menumpang kapal penyebrangan. "Kalo lewat jembatan terlalu jauh, mendingan nyebrang naik kapal aja," Si Mbak penginapan memberi saran.

Baeklahh.. aku menuruti sarannya.

2/3/14

Ayutthaya, Kota Purbakala yang Tidak Kuno

cerita sebelumnya..  Naik Bus Kota & Kereta Di Bangkok

Di setiap stasiun, kereta berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Kursi-kursi di dalam kereta penuh terisi, tapi laju kereta tidak juga bertambah cepat. Alhasil, perjalanan ke Ayutthaya terasa lama..

Seorang remaja cowok duduk di hadapanku. Ia menenteng sebuah buntelan kain yang cukup besar, yang diletakkan di bawah kursi. Tangannya menjulurkan selembar uang 20 bath pada seorang ibu pedagang asongan, untuk membayar sebungkus buah-buahan berwarna hijau seukuran buah cerry. Dengan wajah malu-malu, ia mengupas kulit buah-buah tersebut perlahan, dan memakan biji di dalamnya.

Tanpa sadar, aku terus memperhatikannya makan. Rasanya ingin sekali bertanya buah apa yang sedang dimakannya, apakah rasanya enak? kenapa kulitnya tidak ikut dimakan? Tapi pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya bergema di dalam kepalaku.

Tiba-tiba laju kereta terhenti. Ups.. rupanya kereta sedang berhenti di sebuah stasiun. Aku menoleh ke sebelah kiri, mencari-cari nama stasiun, tapi tak kutemukan. Yang kulihat hanyalah bangunan sederhana berwarna kuning gading dan bule-bule yang bertebaran di pelataran stasiun.

"Kok di stasiun ini banyak bule?" Seketika darahku terkesiap, jangan-jangan ini Stasiun Ayutthaya. Aku pun bertanya (dalam bahasa Inggris) pada remaja cowok tadi yang duduk di hadapanku. Ia tak menjawab, malah melongo memandangku. Ahh.. ternyata ia tidak mengerti bahasa Inggris. Lekas aku berdiri dan menghampiri jendela di sebelah kiri lalu melongok ke luar. Sebuah papan bertuliskan "Ayutthaya" yang cukup besar terlihat jelas.