"Just because you can't see it, doesn't mean it isn't there" - Laut bukan tempat sampah!

2/3/14

Ayutthaya, Kota Purbakala yang Tidak Kuno

cerita sebelumnya..  Naik Bus Kota & Kereta Di Bangkok

Di setiap stasiun, kereta berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Kursi-kursi di dalam kereta penuh terisi, tapi laju kereta tidak juga bertambah cepat. Alhasil, perjalanan ke Ayutthaya terasa lama..

Seorang remaja cowok duduk di hadapanku. Ia menenteng sebuah buntelan kain yang cukup besar, yang diletakkan di bawah kursi. Tangannya menjulurkan selembar uang 20 bath pada seorang ibu pedagang asongan, untuk membayar sebungkus buah-buahan berwarna hijau seukuran buah cerry. Dengan wajah malu-malu, ia mengupas kulit buah-buah tersebut perlahan, dan memakan biji di dalamnya.

Tanpa sadar, aku terus memperhatikannya makan. Rasanya ingin sekali bertanya buah apa yang sedang dimakannya, apakah rasanya enak? kenapa kulitnya tidak ikut dimakan? Tapi pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya bergema di dalam kepalaku.

Tiba-tiba laju kereta terhenti. Ups.. rupanya kereta sedang berhenti di sebuah stasiun. Aku menoleh ke sebelah kiri, mencari-cari nama stasiun, tapi tak kutemukan. Yang kulihat hanyalah bangunan sederhana berwarna kuning gading dan bule-bule yang bertebaran di pelataran stasiun.

"Kok di stasiun ini banyak bule?" Seketika darahku terkesiap, jangan-jangan ini Stasiun Ayutthaya. Aku pun bertanya (dalam bahasa Inggris) pada remaja cowok tadi yang duduk di hadapanku. Ia tak menjawab, malah melongo memandangku. Ahh.. ternyata ia tidak mengerti bahasa Inggris. Lekas aku berdiri dan menghampiri jendela di sebelah kiri lalu melongok ke luar. Sebuah papan bertuliskan "Ayutthaya" yang cukup besar terlihat jelas.

Buru-buru aku  meraih tas tangan dan backpack, lalu berjalan cepat menuju pintu keluar. Untung saja di luar pintu beberapa bule dengan backpack segede bagong hendak naik ke dalam kereta, jadi kereta pun berhenti cukup lama. "Fiuhh.. hampir saja terlewat," batinku lega sambil bergegas turun dari kereta.

Stasiun kereta Ayutthaya.

Sebuah meja bertuliskan 'tourist information' dan seorang petugas dibelakangnya menarik langkahku untuk menghampiri. Kepada petugas aku meminta peta kota Ayutthaya, setelah itu melangkah masuk ke dalam gedung stasiun.

Bagian dalam Stasiun Ayutthaya

Dari balik jendela gedung stasiun, aku bisa melihat dengan jelas bangunan-bangunan toko, pasar, rumah, tempat penyewaan sepeda, serta jalanan beraspal yang mulus (yang di atasnya berlalu lalang tuk-tuk, mobil, motor, dan pejalan kaki). Aku menghela nafas, kecewa.. (-_-)

Bayanganku terhadap kota Ayutthaya yang kecil, dingin, dengan ladang sayuran hijau yang tumbuh di kiri kanan jalan, serta jalan-jalan tanah yang masih terlihat 'kampung'-nya, rontok seketika.. Aku salah besar menilai kota Ayutthaya.. (-_-)
Kota Ayutthaya bukan kota kecil. Ia merupakan kota satelit yang sudah maju. Geliat ekonomi begitu terasa di kota ini. Kalo bisa dibilang mungkin mirip Depok atau Bogor yaks..

Sutralah.. aku cerita sedikit tentang Ayutthaya yah..
"Ayutthaya" yang dalam pengucapan orang Thai: "Ayuthiya", merupakan nama salah satu ibukota sekaligus provinsi di Thailand. Sebagai ibukota provinsi, Ayutthaya punya nama lengkap, yakni Phra Nakhon Si Ayutthaya.

Pada tahun 1350, Ayutthaya merupakan sebuah kerajaan yang disebut juga sebagai Kerajaan Siam, dipimpin oleh Raja U Tong. Lokasinya yang sangat strategis, yakni berada di delta (daratan yang di kelilingi sungai-red) Sungai Chao Phraya, membuat kerajaan ini terlindungi dari musuh-musuhnya sehingga mampu berkembang pesat.

Konon, pada saat itu Ayutthaya merupakan ibukota Thailand. Terhitung ada 33 raja dari dinasti yang berbeda-beda pernah memimpin Kerjaan Siam. Pada tahun 1767, tentara Birma menyerang dan membakar kota Ayutthaya. Ayutthaya pun musnah.

Pemerintah Thailand tidak membangun kembali bangunan-bangunan arkeologi yang telah menjadi reruntuhan. Mereka dibiarkan apa adanya sebagai pengingat sejarah kelam masa lalu. Oleh UNESCO, reruntuhan tersebut ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia (1991).

Olrite.. balik lagi ke cerita jalan-jalan aku yaks.. :)
"Udah terlanjur sampe sini, mo gimana lagi?" batinku sambil mengamati keadaan sekitar. Tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada tiga orang bule, yang setengah berlari, keluar dari mulut gang persis di seberang stasiun. Dengan backpack di punggung, ketiganya berjalan cepat sekali menuju stasiun tempatku berdiri.

"Hmm.. ada bule keluar dari gang itu. Berarti di gang itu ada sesuatu dan itu pasti ada kaitannya dengan wisatawan," ucapku dalam hati. Tanpa buang waktu, kuayunkan langkah kaki keluar stasiun. Beberapa orang supir tuk-tuk langsung menghampiri dan menawarkan jasanya untuk mengantar. "No, thank you," hanya kata-kata itu yang meluncur dari mulutku saat satu persatu dari mereka berusaha menjegal langkahku.

Teriknya sinar matahari langsung menyergap saat aku keluar dari stasiun. Waktu sudah menunjukkan pkl. 10.30 pagi. Dengan langkah pasti, aku menyebrang jalan. Barisan restoran kecil yang merangkap sebagai penginapan dan tempat penyewaan sepeda/motor, berderet di sepanjang gang.

Setelah kurang lebih 200m melangkah masuk ke dalam gang, jalanan buntu! Terbentang di hadapanku sebuah aliran sungai berwarna kecoklatan yang cukup lebar. Itulah Sungai Chao Phraya..  Lebarnya kira-kira sama dengan lebar Sungai Cisadane - Tangerang kali ye..

Di atas sungai, sebuah perahu kayu yang sarat penumpang melintas menuju sebuah dermaga kecil di seberang sungai. Refleks aku langsung mencari-cari dimana letak dermaga yang satunya lagi. Ternyata letaknya tak jauh dari tempatku berdiri, persis di ujung jalan sebelah kiri. Di situ terdapat sebuah restoran yang merangkap dermaga.

Di depan restoran tergeletak sebuah meja kayu yang diatasnya tersusun rapih berbagai pecahan uang receh, mulai dari 1 bath hingga 10 bath. Sebuah triplek dengan tulisan spidol berwarna hitam: 4 bath/person, 2 bath/bicycle, dipaku di bagian depan meja. Di belakang meja, duduk seorang wanita setengah baya.

Tanpa bertanya, kurogoh saku celana dan mengeluarkan uang receh sebesar 5 bath, lalu menyerahkannya pada wanita tadi. Sambil menggenggam uang kembalian, aku meniti sebuah tangga, yang terbuat dari kayu dengan lebar sekitar 5 m dan tinggi 10 m, yang menjorok curam ke bawah ke arah sungai. 

Di bawah tangga, berdiri sebuah dermaga kecil yang beralas dan beratapkan seng. Di sisi-sisinya terdapat kursi kayu yang memanjang. Saat kapal tiba, satu persatu penumpang dan juga sepeda, naik ke atas kapal. Kapal pun melaju pelan. Tak sampai 10 menit, kapal tiba di dermaga seberang sungai.

Sungai Chao Phraya

Di bagian seberang ini, aku juga harus meniti anak tangga yang cukup tinggi. Hanya saja, kali ini tangganya terbuat dari beton. Saat tiba di ujung tangga, deretan bangunan yang terdiri dari restoran dan tempat penyewaan sepeda, motor, dan tuk tuk, berdiri di sisi sebelah kiri sebuah jalan sempit.

Aku melangkah sampai ke ujung jalan dan menemukan jalan raya yang ramai dilalui kendaraan. Hanya bermodalkan insting, aku berbelok ke sebelah kanan dan terus menyusuri jalan sejauh 200m. Saat itulah seorang wanita muda melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku yang kebetulan berjalan ke arahnya, berusaha untuk tak peduli. Dan saat kami berpapasan ia menegurku dengan bahasa Inggris dan menawarkan jasanya untuk mengantar berkeliling.

Heh? agak kaget juga, tumben-tumbenan ada yang tau kalo gue bukan orang Thai.. :p
"No, thank you," ucapku Sambil melambaikan tangan dan berlalu.
Sebuah pertigaan yang cukup ramai menarik perhatianku. Aku menyeberang jalan raya dan berbelok ke arah kiri dan ternyata instingku benar, aku sedang berada di kawasan Pasar Chao Prom.

Jalan-jalan di pasar tradisional Chao Prom sangat menyenangkan. Berbagai macam panganan tradisional bisa kutemukan di sini. Tapi yang menarik perhatianku adalah panganan ketan putih, yang di atasnya ditaburi biji-bijian berwarna kuning, yang dibungkus buah nangka. Untuk 5 buah ketan nangka, aku harus membayar 40 bath. Rasanya? enyakkk.. (^_^)

Ketan nangka. Buah nangka yang manis dipadu ketan yang gurih, lekerrr.. ^_^

Di dekat pasar, ada sebuah terminal bus kecil. Aku berasumsi bahwa terminal bus inilah yang melayani rute ke Kanchanaburi. (FYI: Kanchanaburi adalah sebuah kota lainnya di luar Bangkok yang masuk dalam list kota yang akan aku kunjungi).
Di depan terminal ada beberapa penginapan. Satu persatu penginapan tersebut aku masuki dan tidak ada satupun yang sreg. Kuputuskan untuk tidak bermalam di Ayutthaya.

Aku pun kembali ke dermaga dengan niat menyewa ojek motor untuk berkeliling kota. Di sebuah kios penyewaan sepeda/motor/tuk tuk di pinggir dermaga, aku menawar harga ojek motor. Pada awalnya, penjaga kios terlihat ramah, bahkan mengatakan 'selamat datang' dalam bahasa Indonesia yang fasih, saat tau aku berasal dari Indonesia.

Tapi beberapa saat kemudian ia terlihat gusar. Kegusarannya dimulai saat aku tidak hanya ingin menyewa motor saja, tetapi juga sekalian driver motor-nya alias tukang ojeknya. Yaeyalah... secara gue ga bisa naek motor dan ga tau jalan-jalan di Ayutthaya.. (-_-*)

Karena kios tersebut tidak menyewakan ojek motor, si penjaga kios pun menawarkan padaku untuk menyewa tuk tuk saja ketimbang ojek motor. "Toh selisih harga hanya sekitar 150 bath," begitu katanya. Untuk 2 jam ojek motor harga sewa 200 bath, sedangkan untuk sewa tuk tuk 2 jam 350 bath.

Tapi aku tetap keukeuh ingin menyewa ojek motor. Alasannya, selain karena barang bawaanku tidak banyak (hanya sebuah backpack), dengan motor aku bisa leluasa menjelajah lebih banyak tempat wisata dalam waktu 2 jam, tanpa terkena macet.

Dengan tampang yang semakin masam, ia pun menelepon seseorang. Katanya sih ada seorang temannya yang bisa jadi tukang ojek. Tak berapa lama, si tukang ojek datang. Dalam bahasa Thai mereka berdiskusi. Entah kenapa, melihat gelagat keduanya perasaanku jadi tidak enak.

Beberapa saat kemudian, si penjaga kios memanggilku. Di hadapan si tukang ojek, ia memintaku membayar langsung sewa ojek saat itu juga. Aku menolak. Kukatakan padanya bahwa aku akan membayar full setelah tur selesai atau fifty-fifty (100 bath sebelum dan 100 bath setelah tur selesai). Yaealah.. kalo gue bayar full abis itu gue ditinggal di tengah jalan gimana?.. :p
Si penjaga kios terlihat kesal dengan penolakanku.
"So, you don't trust me?" katanya dengan mulut menyeringai mengejek.

Aku terdiam. Kutatap lekat-lekat wajahnya, menunggu apa yang selanjutnya akan ia lakukan. Dengan wajah kesal, si penjaga kios mengatakan sesuatu pada tukang ojek. Setelah itu ia menatapku dan dengan tegas berkata, "You must pay now! Otherwise, he will go." 

Aku masih terdiam. Si tukang ojek mulai menyalakan mesin motor dan perlahan bergerak menjauh. "Taktik pura-pura pergi supaya dipanggil ternyata bukan cuma ada di Indonesia aja ya, di Thailand juga," batinku. Tanpa berkata apapun, aku berbalik, pergi meninggalkan si penjaga kios dan tukang ojek.

Yang kupikirkan saat itu adalah kembali ke stasiun, lalu menyewa tuk tuk yang mangkal di depannya, setelah itu kembali ke Bangkok. Aku sama sekali tidak kerasan dan tidak berniat menginap di Ayutthaya. Really bad impression in Ayutthaya.. (-_-*)

Tapi.. apa yang aku temukan saat kembali menyebrangi sungai membuatku berubah pikiran..



bersambung.. Melongok Reruntuhan Ayutthaya



salam,

Ifa Abdoel


No comments:

Post a Comment