"Just because you can't see it, doesn't mean it isn't there" - Laut bukan tempat sampah!

10/4/14

Kampung Naga, Tradisi Di Antara Modernisasi

Untuk sesaat aku tercenung melihat pemandangan tak lazim di hadapanku. Dari jarak setengah kilometer di atas sebuah bukit, aku bisa melihat deretan atap rumah berbentuk jajaran genjang yang tersusun rapih. Atap-atap rumah yang terbuat dari ijuk berwarna hitam tersebut seperti sengaja disusun berundak-undak mengikuti kontur tanah yang tidak rata. Indah sekali..

---

flash back..

Sabtu (13 September 2014)

"Naga.. naga.. naga..," teriak kernet bus pada penumpang.
Aku yang sedang berbicara dengan Fitri langsung siaga mendengar ucapan sang kernet. Tujuan kami sudah dekat. Tanpa babibu lagi, kami bergegas bangkit dari kursi dan melangkah menuju pintu keluar. Bus masih berjalan. Lima menit kemudian, bus berhenti di sebuah tikungan.

Kuamati sebuah gapura tinggi tanpa papan nama. Rasa ragu menyerang, "Apa iya ini Kampung Naga? kok nggak ada papan namanya?" tanyaku dalam hati.
Pada seorang tukang bakso yang mangkal tak jauh dari gapura aku bertanya. "Iya Neng, ini Kampung Naga, masuk aja ke dalem," ujar si bapak tukang bakso sambil menunjuk pada jalan di hadapanku.

Tiba-tiba sebuah suara memanggil namaku. Fitri berdiri di tepi jalan raya sambil menunjuk pada sebuah papan nama bertuliskan "Kampung Naga" yang terletak persis di seberang jalan.
Lha.. papan namanya jauh beut dari pintu masuk, kecil pulak, kaga keliatan euy.. :p

Gerbang masuk Kampung Naga

Kami pun melangkah masuk ke dalam. Waktu sudah menunjukkan pkl. 13 siang. Di sebuah koperasi tak jauh dari pintu gerbang, kami bertemu dengan seorang penjaga. Kepadanya kami ungkapkan keinginan kami untuk meng-eksplore Kampung Naga dan membutuhkan seorang guide untuk menemani berkeliling Kampung Naga, yang secara administratif terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
(Baca: Cara Ke Kampung Naga Ala Backpacker )

"Berapa orang yang mau keliling?" tanya Bapak penjaga.
"Kami berdua aja pak," jawabku kalem.
"Hah? berdua aja?" tanyanya heran.
Aku mengiyakan sambil memberikan senyum manis, hihihi.. hush! kok malah ngikik.. :p

Setelah mengisi buku tamu, kami diperkenalkan dengan seorang guide yang bernama Pak Ajun. Ia warga asli Kampung Naga. Selain bertani, pekerjaannya sehari-hari adalah menjadi guide.

Selamat datang di Kampung Naga

Anak tangga
Satu persatu anak tangga mulai kutapaki saat memasuki area Kampung Naga. "Jumlah anak tangga mulai dari tempat parkir sampai ke bawah ada 439 anak tangga," seloroh Pak Ajun.
Ia melanjutkan, jarak dari tempat parkir sampai ke lokasi kampung Naga adalah 500 m.

"Neng.. maap saya mo nanya, Neng ke sini cuma berdua aja?" tiba-tiba Pak Ajun bertanya hati-hati.
"Iya pak, emang kenapa," jawab kami serempak.
"Nggak kenapa-kenapa sih, cuma.. biasanya yang ke sini itu rame-rame, dari kampus atau tempat kerja, atau mahasiswa yang ingin melakukan penelitian, jarang yang berdua atau sendiri ke sini," tutur Pak Ajun

Ooo.. kami cuma bisa nyengir dan mengatakan padanya bahwa kami memang sengaja datang ke Kampung Naga karena penasaran dengan keberadaan kampung ini.
*Jadi inget dengan petugas di koperasi yang juga heran karena kami cuma datang berdua :D*

Tiba-tiba Pak Ajun melipir ke sebuah jalan berkontur tanah dan meminta kami mengikuti. Di sebuah titik ia berhenti. Jari telunjuknya menunjuk ke satu arah, tepat di sebelah kami.

O my God.. Untuk sesaat aku tercenung melihat pemandangan tak lazim di hadapanku. Dari jarak setengah kilometer di atas sebuah bukit, aku bisa melihat deretan atap rumah berbentuk jajaran genjang yang tersusun rapih. Atap-atap rumah yang terbuat dari ijuk berwarna hitam tersebut seperti sengaja disusun berundak-undak mengikuti kontur tanah yang tidak rata. Indah sekali..

Kampung Naga dari atas bukit

Anak tangga & hamparan sawah di Kampung Naga, kece yaks.. ^^

Tidak Bertambah
Setelah melewati tangga yang menurun dan berliku, tak terasa kami tiba di ujung anak tangga. Jalan menuju Kampung Naga berganti dengan jalan setapak yang tersusun dari bebatuan bercampur tanah. Jalan tersebut mengapit area persawahan dan sungai.

Aku beruntung datang ke tempat ini saat musim tanam. Tanaman padi yang masih hijau tumbuh subur membentang di sepanjang jalan hingga ke atas bukit. Bulir-bulir padi mulai memperlihatkan diri di antara rapatnya dedaunan, ada yang masih berdiri tegak, ada pula yang mulai tertunduk tanda bulir semakin berat.

Mayoritas penduduk Kampung Naga bergerak di bidang pertanian. Awalnya padi dipanen 3 bln sekali tapi ternyata kualitas beras yang dihasilkan kurang enak. Jadi mereka kembali menggunakan tata cara penanaman 6 bln sekali agar beras yang dihasilkan lebih enak rasanya.

Suara gemuruh air yang melewati celah bebatuan dari Sungai Ci Wulan pun mulai terdengar jelas. Sungai Ci Wulan adalah sungai yang melintasi Kampung Naga. Kehidupan warga Kampung Naga sangat tergantung pada keberadaan air Sungai Ci Wulan.

Oleh sebab itu, mereka terus menjaga tradisi leluhur untuk tidak mengambil apapun dari dalam Hutan Larangan yang terletak di hulu sungai. (FYI: Hutan Larangan ini merupakan salah satu tempat yang tidak boleh di foto).

Hmm.. hutan yang terjaga dari kerusakan akan berpengaruh baik pada ketersediaan air di sungai. Jadi secara tidak langsung, tradisi leluhur warga Kampung Naga telah menyelamatkan lingkungan dan ekosistem di sekitarnya dari kerusakan, keren yaks... ^_^ (y)

(Atas) Bendungan di Kampung Naga dan Sungai Ci Wulan. (Bawah) Jalan setapak menuju Kampung Naga.

Akhirnya kami tiba di depan Kampung Naga. Rumah-rumah beratap ijuk hitam kini terlihat jelas. Oalah.. ternyata tata letak rumah-rumah di perkampungan ini mirip dengan Suku Baduy di Banten cuy..

Rumah-rumah tersebut memiliki pintu  yang saling berhadap-hadapan. Desain yang demikian memang sengaja dibuat agar komunikasi dengan tetangga tidak terputus. Beda banget yak dengan di Jakarta, kadang sama tetangga sebelah aja nggak kenal :p

Menurut Pak Ajun, penduduk Kampung Naga terdiri dari 108 KK, dengan total penduduk sebanyak 314 orang. Luas kampung Naga itu sendiri mencapai 1,5 hektar.

"Di kampung ini ada lebih dari 113 bangunan. Jumlah tersebut belum termasuk lumbung padi, mesjid, dan rumah-rumah yang kosong," lanjutnya.
"Yang perlu di garisbawahi, bangunan di kampung ini tidak bertambah!" tandasnya.
"Kok bisa pak? emangnya pada nggak punya anak?" tanyaku spontan.

Pak Ajun menjawab sambil nyengir. "Sebab, hanya anak bungsu-lah yang menetap di Kampung Naga. Alasannya karena anak bungsu dianggap sebagai pengganti ibu dan karena anak bungsu biasanya cuma dapet yang serba sisa. Baju sisa kakaknya, buku sisa, tas sisa.. Walaupun kasih sayang nggak ada yang sisa," kata Pak Ajun cengengesan, hayahhh... bisa aje nih bapak.. :D

Selain anak bungsu, harus meninggalkan Kampung Naga jika telah menikah atau berkeluarga. Itu sebabnya jumlah bangunan di Kampung Naga tidak bertambah.
Ooo.. Mulut monyong, mata melebar disertai anggukan kepala, kami pamerkan pada Pak Ajun.. :p

(Atas) Bagian depan dan belakang rumah. (Bawah) Biji-bijian yang sedang dijemur dan bagian depan rumah.

Di sebuah gazebo, kami berhenti. Gazebo ini berada di tengah-tengah kolam ikan. Ada tempat menumbuk padi di dalamnya. Berdasarkan keterangan dari Pak Ajun, gazebo ini memang tempat menumbuk padi dan hanya perempuan yang diijinkan untuk menumbuk padi. Ini erat kaitannya dengan Dewi Sri yang dipercaya oleh masyarakat sebagai Dewi padi.

(Atas kiri) Turis asing yang sedang berfoto dengan wisatawan lokal. Kampung Naga memang sering dikunjungi turis asing. Mereka berasal dari berbagai negara, antara lain Belanda, Italia, Turki, dan Jepang. (Atas kanan) Alat menumbuk padi. (Bawah) Kucing berbulu lebat mirip kucing anggora. Kata Pak Ajun itu kucing asli Kampung Naga, whew.. ^^
 
Tujuan dibangunnya tempat menumbuk padi di atas kolam ikan adalah agar gabah atau serpihan padi yang jatuh ke dalam kolam bisa jadi makanan ikan. Tapi ini aku ngasih makan ikannya pake pelet yang memang disediakan di situ.. :D

Ikan-ikan yang dipelihara oleh warga ini untuk dikonsumsi pada saat upacara adat. Upacara adat di Kampung Naga itu sendiri dilakukan setiap ada hari besar Islam, seperti Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, dan sebagainya. Hal itu dikarenakan 100% penduduk Kampung Naga beragama islam. "Islam yang bercampur dengan tradisi turun temurun," imbuh Pak Ajun.

Penolak Bala
Kemudian kami bergerak masuk ke dalam kampung. Ada yang unik dari setiap pintu rumah. Di bagian atas pintu terpasang Daun Darandang dan Daun Ketupat. Daun-daun yang sudah mengering ini dipercaya penduduk setempat, mampu menolak bala. Daun-daun tersebut juga dipergunakan sebagai simbol bahwa pemilik rumah tersebut adalah warga kampung Naga.

Jadi, kalo kamu melihat tetangga di sebelah rumah memasang Daun Darandang dan Daun Ketupat di pintu rumahnya, bisa dipastikan bahwa tetangga kamu itu warga Kampung Naga.. :D

Pak Ajun pun mengajak kami untuk mampir ke salah satu rumah kerabatnya. Di situ kami disuguhi teh hangat dan pak ajun kembali melanjutkan ceritanya. Di dalam dapur tiap rumah, selain terdapat tungku untuk memasak, juga terdapat lumbung padi atau goah. Goah hanya boleh dimasuki oleh perempuan karena goah merupakan tempat Dewi Sri.

"Coba perhatikan lantai dapur dan ruang lainnya di dalam rumah. Ada perbedaan nggak?" tanya Pak Ajun pada kami.
Yup.. memang ada perbedaan. Lantai dapur hanya ditutupi selembar tikar yang terbuat dari anyaman bambu, sedangkan di bagian lain rumah, lantai tertutup rapat dengan kayu.

"Lantai dapur memang sengaja hanya di alasi tikar karena di bawah dapur ada kandang ayam. Jadi, kalau ada makanan sisa, tikarnya tinggal disingkap saja, lalu makanan sisa tersebut di buang lewat celah-celah tikar dan jadi makanan ayam," tuturnya.

(Atas) Pintu dapur yang dipasangi Daun Darandang dan Daun Ketupat. Tiap rumah memiliki dua pintu, pintu ke dapur dan pintu ke ruang tamu. Dinding dapur dibuat dari anyaman bambu dan memiliki celah. Fungsinya, agar asap dari tungku bisa langsung keluar rumah dan jika ada tetangga yang lupa mematikan tungku bisa terlihat dari luar, sehingga bisa terhindar dari kebakaran. Di bagian bawah dapur inilah terdapat kandang ayam. (Bawah kiri) Dinding ruang tamu terbuat dari kayu dan memiliki jendela. (Bawah kanan) Daun Darandang dan Daun Ketupat.

(Atas) Selain bertani, warga Kampung Naga juga membuat tembikar untuk dijual pada para wisatawan. (Bawah) Bagian dapur.

Kemudian kami melangkah lagi masuk lebih jauh ke dalam kampung. Lagi-lagi kami singgah di rumah salah satu kerabat Pak Ajun. Sambil minum kopi yang kami beli di warung sebelah rumah dan mencicipi ubi cilembu rebus yang rasanya manis, Pak Ajun kembali melanjutkan ceritanya.

Ada beberapa tempat yang tidak boleh di foto oleh wisatawan yang datang ke Kampung Naga, salah satunya adalah bangunan rumah yang dinamakan Bale agung. Katanya, Bale Agung itu tempat pertemuan para sesepuh dan tetua adat.

Ngobrol asik sambil minum kopi & makan ubi cilembu.. ^^

"Di sini nggak ada listrik ya Pak? tanyaku.
"Iya betul, nggak ada listrik."
"Tapi kok banyak antena tv?" ucapku sambil menunjuk beberapa antena televisi yang terlihat menjulang, hampir menyamai pohon kelapa.
"Kita pake accu sebagai pengganti listrik," jawab Pak Ajun.

Ia pun bercerita, dulu Kampung Naga sempat ingin dialiri listrik. Tetapi saat itu kabel listrik kerap menimbulkan percikan api sehingga warga takut terjadi kebakaran mengingat rumah-rumah di Kampung Naga seluruhnya terbuat dari kayu.

"Tapi sekarang tidak adanya listrik lebih karena mempertahankan tradisi. Karena sekarang kan kabel listrik tidak sebahaya dulu," lanjutnya.
Oleh sebab itu, untuk mengakomodir kebutuhan warga Kampung Naga, pemerintah setempat khusus menyediakan satu truk tangki minyak tanah tiap sebulan sekali.. ^_^

Antena tv di atap rumah.

Pusat Kampung Naga
Setelah kenyang menyantap ubi cilembu, kami kembali berkeliling dan tiba di pusat kampung. Pusat kampung yang dimaksud adalah sebuah lapangan yang cukup luas. Di depan lapangan terdapat bangunan mesjid dan balai pertemuan. Di depan kedua bangunan tersebut ada lapak penjual souvenir khas Kampung Naga dan penjual makanan.



(Atas) Pusat Kampung Naga. (Bawah) Tempat air wudhu dan ruang pertemuan.


Oleh-oleh dari Kampung Naga. (Atas) Renggining dan Gula Aren, yang satu gurih, yang satunya lagi manis. Recommend to buy.. ^^

(Atas) Alat musik tiup, namanya Karimbing. (Bawah) Alat musik seperti gendang, namanya Cilempung. Kedua alat musik ini khas Kampung Naga. Pembuatan alat musik Cilempung memakan waktu 3 tahun 6 bln, dengan perincian: 3 bln proses perendaman bambu di air, 3 bln proses pengeringan, berikutnya selama 3 thn bambu diletakkan di atas tungku masak agar bambu  benar-benar kering. Bikinnya lama banget ya gan.. sayang daku kelupaan nanya harga alat musik ini... @_@

At the center of village ^^

Adios Kampung Naga... ^_^

Sekitar pkl. 16.30 sore berakhirlah kunjungan kami di Kampung Naga. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kearifan masyarakat Kampung Naga. Sebuah kampung yang terhimpit arus modernisasi tapi mampu mempertahankan tradisi leluhur. Semoga para penerus Kampung Naga bisa terus mempertahankan tradisi leluhurnya.. ^^

(Baca: Cara Ke Kampung Naga Ala Backpacker )




Salam

Ifa Abdoel



5 comments:

  1. Rasanya nyaman banget di Kampung Naga .... boleh nginep di situ gak ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. eh.. mbak astri :D
      boleh kok mbak klo mo nginep di rmh penduduk, tp hanya utk keperluan tertentu aja, spt penelitian. klo utk turis biasa ga diijinkan utk nginep. :)

      Delete